POLA PENGASUHAN DAN DAMPAK
PERKEMBANGAN ANAK
By: Wahyu Eko Handayani (Widyaiswara Ahli Muda)
“Anak-anakku, biarpun payah,
meskipun keringat dari tubuh ini kering, dan raga ini tidak tersisa lagi.
Harganya tidak sebanding dengan harapanku, untuk melihatmu megah di puncak
itu….”(wahyuekohandayani)
Sigmund
Freud (1856-1939) merupakan pelopor teori psikodinamika. Teori yang dikemukakan
Freud berfokus pada masalah alam bawah sadar, sebagai salah satu aspek
kepribadian seseorang. Penekanan Freud pada alam bawah sadar berasal dari hasil
pelacakannya terhadap pengalaman-pengalaman pribadi para pasiennya, di mana
ditemukan bahwa peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa kanak-kanak sangat
mempengaruhi kehidupan pasien di masa-masa selanjutnya. Impresinya terhadap
pentingnya periode awal kehidupan manusia, yang informasinya kemudian tertanam
dalam alam bawah sadar, meyakinkannya bahwa informasi dalam alam bawah sadar
itu sangat penting, karena dari situlah muncul berbagai gangguan emosi.
Perkembangan
kepribadian menurut Freud adalah belajarnya individu dalam setiap tahap
perkembangannya dalam mengatasi kematangan dan ketegangan yang dialaminya.
Adapun tahapan perkembangan menurut Freud disebut tahapan-tahapan perkembangan
psikoseksual Freud :
1. FASE ORAL (lahir- 18 bln)
Fase oral adalah fase perkembangan yang terjadi
pada tahun pertama dari kehidupan individu. Pada fase ini daerah erogen yang
paling peka adalah mulut, yang berkaitan dengan pemuasan kebutuhan pokok
seperti makanan dan air. Rangsangan yang terjadi pada mulut adalah pada saat
menghisap makanan atau minumannya. Ketidakpuasan pada masa oral (seperti
disapih dan kelahiran adiknya) dapat menimbulkan gejala regresi (kemunduran)
yaitu berbuat seperti bayi atau anak yang sangat bergantung kepada orang tuanya
atau banyak tuntutan yang harus dipenuhi dan juga gejala perasaan iri hati (cemburu).
Reaksi dari kedua gejala tersebut dapat dinyatakan dalam beberapa tingkah,
seperti: menghisap jempol, mengompol, membandel dan membisu seribu bahasa.
Di samping itu ketidakpuasan ini akan berdampak
kurang baik bagi perkembangan kepribadian anak, seperti: merasa kurang aman,
selalu meminta perhatian orang lain atau egosentris. Sama halnya dengan anak
yang tidak mendapat kepuasan, secara berlebihan pun ternyata berdampak kurang
baik terhadap perkembangan kepribadiannya. Dia akan menampilkan pribadi yang
kurang mandiri (kurang bertanggung jawab), bersikap rakus dan haus perhatian
atau cinta orang lain. Menurut Freud, fiksasi pada tahap ini dapat membentuk
sikap obsesif yaitu makan dan merokok pada kehidupan berikutnya (masa remaja
dan dewasa). Pada tahap ini juga doronganagresi sudah mulai
berkembang.
2. FASE ANAL (18bln – 3thn)
Tahap ini berada pada usia kira-kira 2 sampai 3
tahun. Pada tahap ini libido terdistribusikan ke daerah anus. Anak akan
mengalami ketegangan, ketika duburnya penuh dengan ampas makanan dan peristiwa
buang air besar yang dialami oleh anak merupakan proses pelepasan ketegangan
dan pencapaian kepuasan, rasa senang atau rasa nikmat. Peristiwa ini
disebut erotic anal.
Setelah melewati masa penyapihan, anak pada
tahap ini dituntut untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan orang tua
(lingkungan), seperti hidup bersih, tidak mengompol, tidak buang air (kecil atau
besar) sembarangan. Orang tua mengenalkan tuntutan tersebut melalui latihan
kebersihan (toilet training), yaitu usaha sosialisasi
nilai-niai sosial pertama yang sistematis sebagai upaya untuk mengontrol
dorongan-dorongan biologis anak. Ada beberapa kemungkinan cara orang tua
memberika latihan kebersihan ini, yaitu: sikap keras, sikap selalu memuji dan
sikap pengertian. Ketiga cara tersebut memberikan dampak tersendiri terhadap
perkembangan anak. Untuk mengetahui dampak tersebut dapat dilihat pada tabel berikut
:
Cara
Pelatihan
|
Dampak
|
A
Sikap Keras
(Sering menghukum)
|
1. Bersikap
berlebihan dalam ketertiban atau kebersihan
2. Bersikap
kikir
3. Stereotif-kurang
kreatif
4. Bersikap
kejam/keras/sikap memusuhi
5. Penakut
6. Bersikap
kaku
|
B. Selalu
Memuji
|
1. Selalu
ingin dipuji
2. Kurang
Mandiri (Manja)
|
C. Sikap
Pengertian
|
1. Mampu
berdaptasi atau menyesuaikan diri
2. Egonya
berkembang dengan wajar
|
3.
TAHAP
PHALIK (3thn – 5 thn)
Tahap
ini berlangsung kira-kira usia ini anak mulai memperhatikan atau senang
memainkan alat kelaminnya sendiri. Dengan kata lain, anak sudah mulai
bermansturbasi, mengusap-usap atau memijit-mijit organ seksualnya sendiri yang
menghasilkan kepuasan atau rasa senang.
Pada
masa ini terjadi perkembangan berbagai aspek psikologis, terutama yang terkait
dengan iklim kehidupan sosiopsikologis keluarga atau perlakuan orang tua kepada
anak. Pada tahap ini, anak masih bersikap “selfish” sikap
memementingkan diri sendiri, belum berorientasi keluar, atau memperhatikan
orang lain. Perkembangan gejala-gejala psikologis tersebut, baik pada anak
wanita maupun pria dapat dilihat pada table berikut:
Gejala
|
Pengertian
|
Keterangan
|
Anak
wanita iri hati Dzakar
(Penis
Envy)
|
Sikap
cemburu terhadap kelamin laki-laki, karena yang dimilikinya berbeda dengan
yang dimiliki anak laki-laki. Dengan kata lain, dia cemburu kepada laki-laki,
karena dia tidak memiliki penis seperti yang dimiliki laki-laki. Dia merasa
tidak senang atau mencela anatominya sendiri, karena dipandang “deficiency”
(ada kekurangan).
|
Apabila
ibunya bersikap ramah atau penuh kasih sayang, maka gejala ini mudah
terselesaikan. Namun apabila sebaliknya, maka anak akan sulit untuk memainkan
peranannya sebagai wanita, dan dia akan memprotes kewanitaanya.
|
Masculine
Protest
|
Protes
terhadap kondisinya sebagai wanita, sehingga dia lebih senang berperan
sebagai anak laki-laki, bersikap keras, dan senang memainkan anak laki-laki.
|
Kondisi
ini terjadi, apabila lingkungan (orang tua) bersikap merendahkan anak wanita.
Mungkin juga karena ibu sebagai figure untuk diidentifikasi, penampilannya
kurang feminim.
|
Electra
Complex
|
Sikap
anak wanita yang mencintai, menyayangi, atau simpati kepada ayahnya. Gejala
ini terkait dengan fakta, bahwa anak wanita tidak memiliki penis
|
Kondidi
ini terjadi, karena ibunya bersikap keras, sementara ayahnya bersikap
menyayanginya (akrab)
|
Anak
laki-laki
Oedipus
Complex
|
Perasaan
cinta (kemenarikan seksual) kepada ibu, dan sikap memusuhi ayah (karena
dipandang sebagai pesaingnya). Oedipus Complex ini melahirkan
sikap ambivalensi pada anak (konflik internal), yaitu sikap mendua, antara
membenci ayah dengan keinginan mengidentifikasikan dirinya kepada ayah
sebagai tokoh yang mempunyai otoritas di rumah tangga.
|
Gejala
ini terjadi karena (1) ibunya sejak kecil mengurusnya dengan penuh kasih
sayang, (2) ayah jarang di rumah, dan (3) ayah terlalu keras dan kurang
memberikan kasih sayang. Gejala Oedipusini (sikap memusuhi ayah)
menyebabkan anak merasa bersalah kepada ayahnya, maka untuk mengatasinya,
anak mengidentifikasikan dirinya kepada ayah. Kemampuan mengatasi konflik ini
merupakan perkembangan psikoseksual yang sehat. Freud menduga bahwa tanpa
identifikasi, maka anak akan mengalami hambatan dalam perkembangannya,
terutama dalam mengembangkan superegonya.
|
Castration
Anxiety
|
Kecemasan
atau ketakutan anak akan perbuatan ayahnya untuk memotong (menyunat)
penisnya, gara-gara dia memusuhi ayahnya. Gejala ini muncul sebagai dampak
dari oedipus complex
|
Untuk
mengatasinya, anak mengidentifikasikan dirinya kepada ayah.
|
POLA PENGASUHAN (PARENTING
TYPE) UNTUK MENCEGAH PENYALAHGUNAAN NARKOBA
Secara
garus besar terdapat 2 dimensi pengasuhan anak yang membentuk empat bentuk
dasar pengasuhan yaitu ”memberi” dan ”menerima”. ”memberi” adalah dalam artian
mendukung anak dan responsif terhadap pemenuhan kebutuhan, keinginan dan
harapan anak. Sementara ’mengambil” adalah dalam artian menuntut adanya
kedisiplinan dari anak untuk menikuti segala bentuk aturan dan batasan yang
diberikan/ditentukan orang tua.
Adapun 4 bentuk pola pengasuhan tersebut adalah sebagai berikut:
Adapun 4 bentuk pola pengasuhan tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Pola pengasuhan otoritatif
Yaitu pola pengasuhan yang
memberikan banyak hal tetapi menuntut banyak hal pula dari si anak. Pola
pengasuhan ini merupakan pola pengasuhan yang relatif paling efektif
dibandingkan dengan tiga pola pengasuhan lainnya. Hal ini dikarena dalam pola
pengasuhan ini, terdapat aktivitas take and give antara orang tua dan anak.
Dengan demikian terjadi proses pemupukan/pembentukan pengekspresian dan
kepercayaan diri si anak dalam lingkungan keluarga.
2. Pola
pengasuhan authoritarian
Yaitu pola pengasuhan dimana
orang tua cenderung untuk banyak menuntut pada anak untuk selalu mengikuti
segala aturan yang dibuatnya tanpa mempedulikan si anak dapat protes ataupun
menyampaikan keberatannya. Pola pengasuh ini lebih cenderung pada pola
pengasuhan yang otoriter pada anak-anaknya.
3. Pola pengasuhan permisif
Pola pengasuhan permisif ini
bertolak belakang sekali dengan pola pengasuhan authoritarian. Dalam pola
pengasuhan permisif, anak diberikan kebebasan sepenuhnya untuk melakukan apapun
yang dia inginkan dimana orang tua cenderung untuk mendukung tindakan si anak
serta memanjakannya secara berlebihan. Pola pengasuhan ini cenderung membentuk
anak manja, tidak disiplin, malas dan egois.
4.
Pola pengasuhan ”masa bodoh”
Yaitu pola pengasuhan yang
tidak mempedulikan anak sama sekali dimana orang tua sudah pada taraf apatis
terhadap tanggungjawabnya sebagai orangtua.
“Ibu
tak punya banyak cerita untuk hidupmu, tetapi ibu punya pesan yang ingin
disampaikan untuk hidupmu..Esok jika engkau beranjak dewasa, ketahuilah
nak…bahwa dunia ini.. tak selembut belai yang pernah engkau rasa, tak sehangat
keluarga yang pernah engkau punya…”(wahyuekohandayani)
DAFTAR
PUSTAKA
Desmita.
2012. Psikologi Perkembangan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Hambali,
Adang dan Ujam Jaenudin. 2013. Psikologi Kepribadian (Studi atas
Teori dan Tokoh Psikologi Kepribadian). Bandung: Pustaka Setia.
Jaenudin,
Ujam. 2012. Psikologi Kepribadian. Bandung: Pustaka Setia.
Purwanto,
Ngalim. 2007. Psikologi Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Suryabrata,
Sumardi. 2008. Psikologi Kepribadian. Jakarta: Rajawali Press.
Yusuf,
Syamsu dan Achmad Juntika Nurihsan. 2011. Teori Kepribadian. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Komentar
Posting Komentar